Merangkum Buku Konvergensi Media

RANGKUMAN BUKU

 MATA KULIAH : KOMUNIKASI MASSA / DOSEN : Dr. Dudi Iskandar, M.I.KOM

NAMA : FIRLI ARROHMANI NURSA’ID / NIM : 1771502554 / KELAS : UB

Judul buku  : KONVERGENSI MEDIA – Perbauran Ideologi, Politik, dan Etika   Jurnalisme

Penulis        : Dudi Iskandar

Penerbit      : PENERBIT ANDI

Tahun          : 2018

Halaman     : viii+334 = 352 hlm  

A. KONVERGENSI MEDIA


Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan bermetamorfosis. Roger Fidler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Dalam pandangan Fidler, mediamorfosis memiliki tiga konsep, yaitu: koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Ia mendefinisikan mediamorfosis sebagai transformasi media komunikasi yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi. (hal 1)

World Association of Newsspapers (WAN) menemukan enam tren efek internet terhadap jurnalisme. (1) Peningkatan jurnalisme partisipatif atau komunitas penghasil isi berita. (2) Munculnya riset audiensi tentang pola penggunaan media. (3) Penyebaran informasi (berita) yang dibuat sendiri secara online dan perangkat telpon seluler. (4) Penataan kembali newsroom yang lebih fokus kepada audiensi. (5) Pengembangan bentuk baru tentang narasi/storytelling yang disesuaikan dengan audiensi dan saluran yang baru. (6) Pertembungan audiensi yang fokus pada penyesuaian berita dan juga penyesuian berita multimedia. Sementara itu, menurut John V. Pavlik dalam dunia digital, jurnalisme modern mengalami lima area perubahan, antara lain,(1) pengumpulan dan pelaporan berita,(2) konten untuk multimedia,(3) proses, produksi, dan editorial, (4) distribusi dan penerbitan, serta (5) penampilan, tata letak, dan akses. (hal 2)   

Teoretikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikan konvergensi sebagai penyatuan yang terus-menerus terjadi diantara berbagai bagian media seperti teknologi, industri, konten, dan khalayak. Sementara itu, Burnett and Marshall mendefinisikan konvergensi sebagai penggabungan industri media, telekomunikasi, dan komputer menjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi sebagai media komunikasi dalam bentuk digital. (hal 3)

Yuyan Ernest Zhang menyatakan bahwa konvergensi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan di era digital. Disini dibutuhkan strategi untuk terus bertahan dan berkembang. Ada tiga faktor yang menyebabkan konvergensi tidak bisa dihindari, yakni proses organisasi dari atas ke bawah (top-down process), proses tekanan dari konsumen, dan pengendalian melalui teknologi digital. Pengalaman di beberapa media menunjukkan konvergensi media akan membuat jurnalisme yang bagus, menghasilkan keuntungan yang berlimpah dan pengeluaran yang kecil, dan meningkatkan daya saing media tersebut. (hal 32)


B. MEDIA IDEOLOG & AKTOR POLITIK


Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produktif, dan menyebar serta diskonstruksi dengan cara stimulasi. Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima wacana yang diangkat dalam penelitian ini menemukan signifikansinya. Wacana-wacana itu adalah Kecurangan Kampanye Pilpres, Dugaan Pelanggaran HAM Prabowo, Debat Capres – Cawapres, Konser Salam 2 jari, Keberpihakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kelima wacana itu merupakan representasi dari pola pikir redaksi Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup sebagai subjek atau pemroduksi wacana (level meso dalam konsep Norman Fairclough). (hal 216) 

Sebenarnya keberpihakan media terhadap partai politik atau kandidat tertentu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri pun sama saja. Banyak media yang memilih dan berafiliasi dengan partai politik atau simpatisan kandidat tertentu. Inilah salah satu risiko media dikuasai pedagang dan politisi. Pergeseran pola di media ini di awali oleh perpindahan kepemilikan dari wartawan ke pengusaha atau politisi. Para pemilik yang berlatar belakang pengusaha dan politisi tidak memahami kode etik jurnalistik dan undang-undang secara mendalam. Meskipun kita tidak memungkiri ada beberapa grup media yang tetap melakukan tugas jurnalismenya secara benar (dengan acuan kode etik jurnalistik dan undang-undang). (hal 219)

Harus diakui bahwa keberpihakan politik dalam kampanye Pilpres 2014 membuat media-media yang berafiliasi atau dimiliki oleh politisi dari partai politik tertentu kualitas beritanya sangat buruk. Bahkan, untuk sekadar memenuhi kode etik jurnalistik saja tidak bisa. Peristiwa dibingkai untuk kepentingan politik pemilik medianya. Untuk memberikan porsi bagi lawan politik sangat sedikit kalau tidak dikatakan sangat terpaksa. Bahkan untuk media-media yang memiliki kepentingan politik tertentu Aliasi Jurnalis Indepen (AJI) menghadiahkan mereka dengan julukan “musuh kebebasan pers”. (hal 219-220)  

Hampir sebagian besar media pada kampanye Pilpres 2014 larut ke isu pemilu dan pilpres. Muncul kecenderungan-kecenderungan penilaian terhadap calon tertentu. Namun demikian, yang harus digarisbawahi adalah standar kode etik jurnalistik. (hal 220) Kecenderungan konglomerasi media bisa menjadi masalah bagi penegakan kode etik jurnalistik. Bahkan, ada kecenderungan kompromistis antara kode etik dan kepentingan kapitalisme, terutama bagi media-media yang secara ekonomi belum mampu mandiri. Bantuan ekonomi untuk kelangsungan media sangat memengaruhi independensi media. Di beberapa grup perusahaan, media adalah bagian kecil yang harus disubsidi oleh pemilik atau perusahaan induk sehingga sulit untuk netral dalam pemberitaanya. (hal 220-221) 

Begitu juga dengan Koran Sindo. Headlines berjudul “SBY Restui Prabowo-Hatta” adalah berita konstruksi tim sukses Prabowo-Hatta. Berita ini tidak ada di media lain selain media-media pendukung Prabowo-Hatta. Pola Koran Sindo dalam berita ini sama dengan keberpihakan secara politik Media Grup dan Kompas Grup ketika menulis konser selama 2 Jari. Tentu saja dengan argumen jurnalistik masing-masing. Masing-masing memiliki perspektif dan klaim tersendiri. Bahwa berita yang mereka siarkan adalah tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik dan sesuai dengan kepatutan sosial. Oleh sebab itu, pemberitaan di Media Grup dan MNC Grup lebih bersifat politis daripada sebuah karya murni jurnalistik. Keberpihakan politik kedua grup tersebut kepada masing-masing kandidat membuat kepentingan publik secara umum dilanggar. Media yang seharusnya menjadi corong kepentingan publik berubah menjadi kepentingan capres-cawapres atau partai politik. (hal 222-223)

Persoalan lain adalah KPI berhadapan dengan “orang-orang kreatif”. Mereka akan selalu mempunyai cara dan celah mengakali peraturan. Oleh karena itu, KPI mengingatkan dengan membuat surat edaran sebelum pemilu bahwa frekuensi itu tidak boleh digunakan kepentingan pemilik media dan kelompoknya karena ini harus netral. (hal 224) 

C. POST JURNALISME


Perkembangan jurnalisme kontemporer sangat mengerikan karena jurnalisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan dirinya. Namun, patokan-patokan membuat kebenaran (truth) harus terus disampaikan. Kebenaran harus disampaikan; laporan komitmen jurnalisme terhadap laporan fakta. Inilah yang belum berubah. Karena kalau komitmen jurnalisme terhadap laporan fakta pudar, berarti jurnalisme mati; jurnalisme selesai. (hal 249)

Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik politik realitas, kepentingan publik sangat sulit dipisahkan dari kepentingan partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media televisi, khususnya. Bagaimana seseorang harus menyampaikan bahwa tidak berpihak, sementara dia mengatakan berpihak. Sebuah televisi atau siapa saja boleh mengatakan bahwa tidak berada di satu pihak. Karena realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu penting lagi, tetapi yang penting sentimen yang dibangunnya. Dari fakta ke sentimen. Dari objektif ke subjektif. Jadi, yang dibutuhkan adalah efek subjektif. Kamus oxford melanjutkan berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. (hal 250)

Komentar

Posting Komentar